Malam ini aku sedang berusaha menciptakan sebuah lagu. Mumpung waktu senggang. Besok hari Sabtu dan tidak ada jadwal kuliah. Jadi, aku bisa sepuasnya menghabiskan malam dengan menciptakan lagu.
“You’re on the phone with your girlfriend she’s up set …”
Ddrrtt … ddrrtt …
Handphone-ku bergetar. Ada BBM yang masuk. Aku melihat u-namenya siapa. TaylorLautner. Oh my God, Lautner memberiku BBM. Isinya begini:
TaylorLautner : Hi, Tay. What are you doing? J
SwiftyTays : Hi. Hanya membuat lagu J
TaylorLautner : Wow, keren! Kamu bisa membuat lagu?
SwiftyTays : Ya. Aku kan ada di kelas musik.
TaylorLautner : Kapan-kapan aku bisa mendengar lagumu itu?
SwiftyTays : Tentu saja.
TaylorLautner : Besok jadwal kuliah kosong?
SwiftyTays : Iya. Ada apa?
TaylorLautner : Mmm … aku mau mengajakmu nonton besok. Biar aku traktir.
SwiftyTays : Bagaimana, ya … Aku takut pacar kamu marah. Hahahaha XD
TaylorLautner : Ngga, kok. Ayolah …
SwiftyTays : Oke, oke. Aku ikut.
TaylorLautner : Baiklah. Besok pukul 01.55 p.m di depan New York Mall.
SwiftyTays : Oke. See you tomorrow J
TaylorLautner : See you J
SwiftyTays : Hi. Hanya membuat lagu J
TaylorLautner : Wow, keren! Kamu bisa membuat lagu?
SwiftyTays : Ya. Aku kan ada di kelas musik.
TaylorLautner : Kapan-kapan aku bisa mendengar lagumu itu?
SwiftyTays : Tentu saja.
TaylorLautner : Besok jadwal kuliah kosong?
SwiftyTays : Iya. Ada apa?
TaylorLautner : Mmm … aku mau mengajakmu nonton besok. Biar aku traktir.
SwiftyTays : Bagaimana, ya … Aku takut pacar kamu marah. Hahahaha XD
TaylorLautner : Ngga, kok. Ayolah …
SwiftyTays : Oke, oke. Aku ikut.
TaylorLautner : Baiklah. Besok pukul 01.55 p.m di depan New York Mall.
SwiftyTays : Oke. See you tomorrow J
TaylorLautner : See you J
Itulah sepenggal percakapanku dengan Lautner. Besok aku akan bertemu dengannya di New York Mall. Huft, cukup aneh. Aku baru mengenalnya tadi siang, dan besok kami sudah akan jalan bersama. Semoga saja pacarnya itu tidak marah. Aku tidak tahu seperti apa pacarnya itu. Yang aku tahu hanya namanya, Avril Lavigne.
Aku membuka laptopku dan membuka akun twitter-ku. Siapa tahu Lautner juga sudah mem-follow twitterku. Ketika membukanya, benar dugaanku. Baris followersku bertambah seorang pria. User name-nya @Taylor_Lautner. Aku pun mengkliknya.
Aku membaca beberapa tweet-nya. Ketika membaca salah satu tweet-nya, aku langsung terkejut. Bukan dalam maksud kepedean atau geer, ya. Tapi … ah. coba baca saja sendiri!
Taylor_Lautner besok siang aku akan bertemu dengan seseorang yang mengagumkan J
Perasaan aneh tiba-tiba saja menjalar di tubuhku. Tapi, segera kutangkis perasaan itu karena itu terlalu aneh. Masa iya Lautner suka padaku?
Siang hari ini, aku bersiap-siap untuk pergi ke bioskop bersama Lautner. Kali pertamaku juga jalan dengan “orang yang baru kukenal”. Sebelumnya, aku memang tidak mengenalnya, kan?
Aku memakai dress selutut berwarna ungu ditambah dengan cardigan berwarna putih. Rambutku yang panjang dan ikal kuikat satu kepinggi bawah bagian kanan. Kupoles sedikit bedak di wajahku dan lipstick berwarna bibir di bibirku. Lalu, aku menyemprotkan sedikit parfum ke tubuhku.
Aku menatap diriku di depan cermin. Sempurna. Kemudian, aku mengambil tas berwarna ungu dengan pita besar berwarna ungu juga. Setelah semua beres, aku pun berangkat menuju New York Mall menggunakan taksi.
Begitu sampai di depan New York Mall, waktu baru menunjukan pukul 01.30 p.m. Aku belum melihat sosok Lautner dimana pun. Lima belas menit menunggu, sosok Lautner belum muncul juga dihadapanku. Karena ia belum datang juga, aku pun segera menelepon ponselnya.
“Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang sibuk. Silakan Anda coba lagi.”
Lho, kok? Mengapa Lautner jadi tidak bisa dihubungi? Aku mencoba meneleponnya lagi, namun hasilnya nihil. Kira-kira, sudah lima belas kali aku meneleponnya. Namun, tak ada satu pun jawaban darinya.
Pukul 04.20 p.m, Lautner belum juga datang. Aku mulai panas, gerah, dan kesal. Sudah hampir empat jam aku menunggu di depan New York Mall. Lautner belum datang juga. Karena sudah kesal berlama-lama menunggu, aku pun pergi meninggalkan New York Mall tanpa membawa apa pun dari sana.
Argh! Jika tahu begini jadinya, kutolak saja permintaannya kemarin. Dasar bodoh kau, Taylor! Mau-maunya saja kamu menerima tawaran dari orang yang baru kamu kenal. Huh!
….
Esok paginya di kampus, mood-ku masih jelek juga. Gara-gara kejadian menyebalkan kemarin. Coba saja kalian bayangkan. Menunggu selama empat jam dan orang yang mengajakmu bertemu itu tidak datang juga? Aku benar-benar tertipu.
Selena yang baru datang segera menghampiriku. Wajahnya terlihat heran melihatku. “Hai, Tay, Ada apa? Mengapa wajahmu berkerut seperti itu?” tanyanya.
“Aku tertipu, Sel,” ujarku sedih.
“Tertipu apa?”
“Malam setelah pulang dari kafe, Lautner mengontakku. Dia mengajakku menonton. Aku tadinya menolak, tapi dia memaksa. Akhirnya aku menerimanya. Kami janjian di depan New York Mall pukul 01.55 p.m. Tapi, besoknya di depan New York Mall aku menunggu selama empat jam. Namun, Lautner tidak datang juga. Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi dia tidak menjawab. Aku kesal banget, Sel!” aku mencurahkan semua rasa kesalku pada Selena.
“Sabar, Tay … Mungkin, Lautner ditahan oleh pacarnya itu,” Selena berusaha menenangkanku.
“Avril maksudmu?”
“Iya, tentu. Siapa lagi memang? Kemarin, aku tidak sengaja melihat Lautner dan Avril di dalam mobil di depan mini market dekat apartemenku. Entah sedang apa mereka,” jawab Selena.
Aku mengepalkan tangan kesal. Ternyata, ketika aku sedang capek-capeknya menunggu selama empat jam, eh, si Lautner malah asyik berduaan sama pacarnya. Benar-benar menyebalkan.
“Tak akan kuberi maaf si Lautner itu! Lihat saja nanti kalau kita bertemu!” ucapku dingin berusaha membayangkan wajah menyebalkannya itu. Oke, aku mulai membencinya gara-gara kejadian memuakkan kemarin.
“Kabar baiknya … Aku dapat pin Justin! Yeay!” pekik Selena dengan senang.
“Dapar dari siapa?” tanyaku.
“Dari Victor. Dia sepupuku dan kebetulan dia juga satu kelas dengan Justin. Hebat bukan?” Selena merasa sangat bahagia mendapat pin Justin. Ah, kasmaran.
“Ya, tentu saja,” tanggapku datar, masih dalam keadaan bad mood.
“Aku juga sudah meminta Victor untuk, ya … membantuku agar bisa jadian dengan Justin.”
Aku mengangkat kepala agak terkejut. “Yang benar saja, Sel? Kamu serius mau pacaran dengan laki-laki yang lebih muda darimu? Resiko cemoohannya lebih berat, lho.”
“Ah, biarlah. Apa pun demi Justin. Eh, ayo segera masuk!” Selena menarik tanganku. Kami pun segera masuk ke dalam kelas untuk memulai pelajaran.
....
Di kafe, di tempat yang sama seperti saat pertama kali aku bertemu Lautner, aku melihatnya lagi. Lautner sedang bersama Justin dan Bruno. Dan, ah, seorang wanita. Yap, siapa lagi kalau buka Avril? Pacarnya.
Kalau saja tida ada pacarnya di sana, pasti sudah kuhampiri si Lautner dan kumaki habis-habisan. Kejadian kemarin benar-benar mengacaukan mood-ku.
Selena masih sibuk mengagumi Justin yang memakai kaos putih polos, jaket kulit hitam, dan celana jeans berwarna biru tua. Tentu saja, pasti itu merupakan style kesukaan Selena.
“Oh my God … Betapa tampannya Justin …” gumama Selena, masih memandangi Justin dan jauh.
“Haloooo Selena! Aku masih di sini!” seruku agak keras, memecah lamunan Selena yang membayangkan betapa tampannya dan kerennya Justin.
Selena langsung mendongkak dan menatapku. “hehehe … maaf. Jadi sekarang kau tahu, kan, pacar si Lautner itu? Perempuan yang sekarang berada di samping Lautner.”
“Tentu saja aku tahu. Hah, kalau saja tidak ada pacarnya di sana, sudah dari tadi aku labrka si Lautner dan complain tentang kejadian kemarin!” gerutuku dengan nada kesal. Aku menyeruput jusku dengan cepat.
Ddrrrttt … ddrrtttt …
Ada BBM masuk. Aku langsung membacanya. Dan sialnya, itu dari Lautner. Benar-benar menyebalkan. Isinya begini:
TaylorLautner : Tay, temui aku di toilet sekarang. Aku mau bicara tentang kemarin.
Sebenarnya, aku sudah tidak mood lagi untuk berhubungan dengan Lautner. Aku melirik Lautner sejenak. Ternyata, dia melirikku juga. Aku langsung memalingkan wajahku ke arah Selena. Terpaksa, aku membalas BBM-nya.
SwiftyTays : Oke.
Aku berdiri dari kursi. “Mau ke mana?” tanya Selena ketika aku berdiri. Aku tidak menjawab.
Kemudian, aku segera menuju toilet wanita yang bersebelahan dengan toilet pria. Aku juga sempat melihat Lautner ikut berdiri saat aku berdiri. Di toilet, Lautner menghampiriku.
“Ehm … Aku mau minta maaf, Tay, soal kejadian kemarin. Maaf aku tidak bisa datang, soalnya Avril tiba-tiba saja mengajakku jalan dan tidak memperbolehkanku pergi ke mana saja. Sekali lagi, maaf,” kata Lautner dengan nada agak bersalah.
Tapi, aku masih tetap kesal. Menunggu selama empat jam itu menyebalkan. Ditambah lagi, aku bukan orang yang suka menunggu.
“Aku tidak bisa, Lautner. Aku menunggumu selama empat jam di sana. Aku sudah berusaha mengontakmu berkali-kali. Setidaknya, jawab BBM-ku kemarin!” aku berseru kesal. Wajahku merah padam menahan marah.
“Maaf, Tay! Aku sengaja me-nonaktifkan HP-ku agar Avril tidak curiga. Jika Avril sampai tahu, aku bisa putus darinya!”
Aku muak mendengarnya. “Kalau begitu, kenapa kamu mengajakku pergi? Kalau ketahuan Avril juga berbahayakan?” aku berusaha memojokan Lautner.
Emosiku pecah di sana. Aku terlalu kesal sehingga aku segera meninggalkan Lautner dan pergi dari kafe tanpa memedulikan Selena yang masih berada di dalam sana. Argh, Lautner sukses merusak mood-ku hari ini!